Adat Sesudah Perkawinan Suku Moronene ~ Pola menetap sesudah kawin pada Suku Moronene adalah realisasi dari prinsip mereka yaitu nunu’o samotu’a ntaman (mengikuti suaminya atau Virilokal). Pengantin bau itu akan tinggal untuk sementara di dalam rumah orang tua pria, sambil mereka membuat rumah sendiri di sekitar tempat kediaman orang tua pria. sering juga karena alasan bahwa istri itu adalah anak bungsu atau anak tunggal, maka ia tidak diperkenankan untuk berpisah dengan orang tuanya, dan akan tinggal untuk sementara di rumah orang tua wanita sambil mereka berusaha membangun rumah sendiri di sekitar kediaman orang tua wanita, sebagai prinsip nunu’o samotu’a ntinano (mengikut istrinya atau uxorilokal). Baca juga Adat Sebelum Pernikahan Suku Moronene
Apabila dikemudian hari orang tua wanita meninggal dunia maka merekalah yang mewarisi rumah dan kintal orang tua serta segala isinya. Seringkali juga karena alasan tertentu, misalnya karena suami pindah ke tempat kerja, maka pengantin baru tersebut dapat memilih tempat tinggal baru, terpisah jauh dari wilayah kediaman kerabat suami ataupun kerabat istri, sebagai prinsip mesincampanta (memisahkan diri atau neolokal). Walaupun mereka sudah tinggal jauh dari lingkungan kerabat, mereka masih tetap sewaktu-waktu kembali menengok kampung halaman orang tua suami dan orang tua istri bertempat tinggal, apalagi di sana masih terdapat tanah warisan adat dari masing-masing orang tua yang disebut inambo. Baca juga Sejarah Perkembangan Suku Moronene
Warisan dan Bingkisan Setelah Kawin
Seorang anak akan memperoleh warisan yang dalam bahasa Moronene lazim disebut kikitoo dari ayahnya sesudah kawin. Bila ayah meninggal dunia, maka yang pertama mewarisi harta miliknya adalah ibu (jandanya). Apabila ibu meninggal dunia dan masih ada anak yang belum mendapatkan warisan, maka anak itu menerima warisan dari orang tuanya atas pengaturan pamannya dari pihak ayah. Selain warisan itu, istilah “kikitoo” juga berarti bingkisan dari orang tua pengantin pria kepada pengantin wanita (termasuk harta pemberian pada acara mesisiwi dan juga “pokolako” yaitu pemberian dari orang tua pengantin wanita pada acara “pinokolako”.
Adat Perceraian Dalam Suku Moronene
Sama halnya semua suku bangsa di dunia, perceraian adalah gejala sosial rumah tangga yang umum sering terjadi. Bagi Suku Moronene istilah “teposinca” atau tepobinta” adalah dua istilah yang dipakai untuk pengertian perceraian. Penyelesaian urusan suatu perceraian dilakukan dimuka sidang adat di tingkat desa. Bila tidak urusan itu dapat dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat kecamatan. Dalam sidang adat tersebut hadir Tolea (juru bicara), Bonto (hakim adat) dan kapala (kepala kampung, kepala desa). Selain itu juga turut hadir dalam sidang musyawarah adat, ialah anggota keluarga kedua belah pihak suami istri, terutama ayah dan ibu masing-masing. Dalam sidang adat ini didengarkan dan dipertimbangkan alasan suami atau istri sehingga hendak bercerai.
Perceraian menurut hukum adat Moronene adalah melalui suatu cara yang lazim disebut “montundu mangkoona” yang diartikan memecahkan piring. Mangkoona (piring atau yang sejenisnya) adalah alat peralatan rumah tangga yang paling dihargai oleh Suku Moronene. Montundu mangkoona dilambangkan sebagai suatu sumpah antara suami istri untuk bercerai dan sepakat untuk tidak akan rukun kembali. Selain itu juga secara simbolis adalah menghancurkan alat rumah tangga yang paling dihargai, sehingga untuk hidup bersama dan saling menghargai sebagai suami istri tidak mungkin lagi tercipta.
Perceraian menurut hukum adat Moronene adalah melalui suatu cara yang lazim disebut “montundu mangkoona” yang diartikan memecahkan piring. Mangkoona (piring atau yang sejenisnya) adalah alat peralatan rumah tangga yang paling dihargai oleh Suku Moronene. Montundu mangkoona dilambangkan sebagai suatu sumpah antara suami istri untuk bercerai dan sepakat untuk tidak akan rukun kembali. Selain itu juga secara simbolis adalah menghancurkan alat rumah tangga yang paling dihargai, sehingga untuk hidup bersama dan saling menghargai sebagai suami istri tidak mungkin lagi tercipta.
Kawin Ulang Dan Poligami Dalam Suku Moronene
Kawin ulang dikalangan Suku Moronene dapat terjadi apabila
- Seseorang laki-laki atau wanita meninggal istrinya atau suaminya dan ingin kawin lagi.
- Seseorang laki-laki atau wanita bercerai dengan istrinya atau suaminya dan ingin kawin lagi.
- Seseorang wanita yang sudah mempunyai suami kemudian kawin lagi yang dikenal dalam bahasa Moronene dengan istilah “o’api”.
- Seseorang pria yang sudah mempunyai istri tetapi ingin kawin lagi, yang dikenal dalam bahasa Moronene dengan istilah “olowa”.
Pada umumnya perkawinan ulang, mengadakan upacara tetapi tidak resmi seperti pada waktu perkawinan pertama. Demikian juga halnya pihak kerabat kedua belah pihak, kurang berperan serta dalam pelaksanaan perkawinan tersebut. Poligami dikalangan Suku Moronene dikenal dengan istilah “olowa” (beristri lebih dari satu). Kebanyakan pria yang olowa itu adalah dari golongan rang kaya atau karena si suami ingin memperoleh anak, bila istri pertama mandul yang dalam bahasa Moronene dikenal dengan istilah “komba”. Bila si suami ingin kawin lagi, ia memberitahukan maksudnya kepada istri pertama untuk minta persetujuannya. Biasanya si istri pertama yang mencarikan calon istri muda bagi suaminya dengan maksud agar mereka rukun dan memungkinkan mereka tinggal bersama dalam satu rumah. Bila istri-istri itu tinggal dalam satu rumah, maka istri pertama akan tetap bertindak sebagai ibu, untuk mengatur di dalam rumah dan istri yang lain akan ikut membantunya.
Baca : Tempat wisata di Dunia
Daftar Kebudayaan selanjutnya ----------Next----------.
Kunjunggi juga :Tempat Wisata terpopuler Di Indonesia .
Baca : Tempat wisata di Dunia
0 Komentar untuk "101 Adat Sesudah Perkawinan Suku Moronene"