Suku Dunia ~ Orang Tehid atau Tehit berdiam di daerah jazirah Kepala Burung Papua, yaitu antara bagian selatan barat daya hingga barat daya. Pemukiman mereka terkonsentrasi di sekitar kota Teminabuan, Provinsi Papua. Jumlah populasinya sekitar 25.000 jiwa.
Kata Tehid berasal dari tahiyid, artinya "mereka(lah) Tehid", arti leksikalnya telah hilang. Mereka mungkin datang ke daerah ini beberapa ratus tahun yang lalu dan mendesak penduduk yang lebih dulu datang, yaitu orang Safledrar, kelompok pribumi Papua yang tergolong pigmi. Orang Tehid sendiri memiliki perawakan tinggi tegap seperti orang-orang yang hidup di pantai berawa-rawa umumnya.
Orang Tehid yang diam di daerah berawa-rawa hidup dari mata pencaharian menebang dan mengumpulkan pati sagu, sedangkan yang diam di tanah kering membuka ladang untuk ditanami ubi, keladi, labu, dan lain-lain.
Pada masa dulu orang Tehid dipimpin oleh raja-raja kecil yang berkedudukan di empat buah weri (bandar), yaitu Weri Ambuam (Teminabuan), Weri Sar, Weri Konda dan Weri Kasrer (Seribau). Raja yang paling dominan berkedudukan di Teminabuan, gelarnya Kaibus atau Woronemin. Masyarakat Tehid terdiri atas beberapa klen patrilineal. Anggota klen disebut wendla dan pemimpinnya disebut nakhohokh. Kepemimpinan ini terutama kelihatan dalam masalah kemasyarakatan, seperti dalam masalah pembagian harta waris, aturan perkawinan, pelanggaran adat dan sebagainya. Nakhohokh sendiri harus memimpin musyawarah (lelekh wamar) untuk memutuskan suatu perkara. Keputusannya memerlukan pertimbangan dari sekelompok orang tua-tua bijaksana yang disebut nasemba (penengah). Pada zaman dulu lelekh wamar juga berfungsi sebagai lembaga ritual, perantara antara nadkhoin (manusia) dengan Tali Nggameri (Khalik, Sang Pencipta) yang disebut Na Agow Allah.
Orang Tehid percaya bahwa wua (roh) orang yang baru mati akan pergi ke mlfitain. Di sana wua akan mengawasi anak cucunya yang masih hidup di atas dunia. Bila terjadi pelanggaran maka wua akan datang menjelma ke dalam bentuk pengganggu. Tujuan sebenarnya adalah supaya anak cucunya tidak melanggar lagi. Wua bisa datang dalam bentuk penyakit, babi perusak tanaman, atau menutupi reziki orang dalam berburu dan pekerjaan lainnya. Gangguan wua itu disebut khlembet ysimari (diawasi arwah). Hal ini hanya bisa diatasi dengan memberikan hea (sesajen), atau melakukan sambe (permintaan maaf) dengan bantuan mimit (dukun). Wua yang terkenal jahat disebut khol, roh ini hanya takut kepada tali nggameri atau Na Agow yang berkedudukan di ik (langit).
Sama seperti berbagai suku bangsa pribumi lain di Jazirah Kepala Burung, alat bayar bergengsi pada orang Tehid ini adalah not hokh (kain sakral). Terutama sebagai mas kawin. Dalam perkawinan itu sendiri syolo (saudara laki-laki) ibu sangat berperan dalam menentukan jodoh kemanakannya, karena itu perkawinan ideal dalam masyarakat ini adalah antara saudara sepupu silang.
Bahasa Suku Tehid
Bahasa Tehid terdiri atas 12 dialek yaitu dialek Tehid Tehiyit (di Teminabuan dan sekitarnya), dialek Tehid Afsya atau Mbolfle (di bagian selatan Teminabuan : weri konda dan Mbariat), dialek Tehid Gemma (di sebelah utara Teminabuan, Wehali dan Eles), dialek Tehid Yemian (di kampung Hana dan Sanekh), dialek Tehid Sawiat (di kampung Soroan dan sekitarnya), dialek Tehid Fkar (di Pegunungan), dialek Tehid Yatfle, dialek Tehid Sayfi, dialek Tehid Konyokh, dialek Tehid Salmeit.
0 Komentar untuk "Sejarah Suku Tehid"